Selasa, 27 Januari 2015

Jilbabku Terasing, Jilbabku Berbuah Kebahagiaan (2)





Sepenggal kisah tentang “ayat hijab”

Dahulu, ketika para shahabiyyah mendengar ayat tentang menutup aurat, mereka bersegera mentaatinya. Sebagaimana penuturan Aisyah radhiyallahu ’anha; beliau mengisahkan,
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada (dan leher) mereka (QS. An-Nur:31)’, mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, no. 4759)
Kisah ini menunjukkan bahwa sebelum turun ayat hijab, para shahabiyyah kala itu tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka. Namun sewaktu turun ayat hijab, dengan segera mereka mengambil kain-kain yang ada di rumah mereka sebagai penutup tubuh mereka secara sempurna, sebagai bentuk ketaatan pada perintah Rabb-nya.
Surat An-Nur, ayat 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur:31)

Tafsir ayat:
Allah memerintahkan para wanita muslimah menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Allah berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya,’
→ Dari melihat aurat-aurat dan melihat lelaki dengan penuh syahwat dan pandangan lain yang terlarang.
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Dan menjaga kemaluannya,”
→ Dari (kesempatan) untuk dapat menyetubuhinya, menyentuh, dan melihat yang diharamkan kepadanya.
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,”
→ Seperti pakaian yang indah, perhiasan-perhiasan, dan seluruh tubuhnya termasuk dalam pengertian perhiasan (ziinah).
Manakala baju luar harus mereka kenakan, maka Allah berfirman,
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Kecuali yang (biasa) tampak darinya,”
→ Baju luar yang biasa dipakai, selama tidak memicu munculnya.
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,”
→ Demikian ini agar lebih sempurna dalam menutupi.
Ini menunjukkan bahwa perhiasan yang haram untuk ditampakkan adalah mencakup seluruh tubuh wanita sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. [Mengenai hukum wajibnya cadar ada perbedaan dikalangan ulama, ada yang mewajibkan dan ada yang menyunnahkan. Selengkapnya bisa di baca di www.muslimah.or.id]
Kemudian Allah mengulang kembali penjelasan hukum menampakkan aurat; Allah menyebutkan beberapa pengecualian:
  1. Kecuali kepada suami mereka → Terhadap para suami mereka;
  2. Atau ayah mereka, atau ayah suami mereka → Yang mencakup bapak, kakek, dan seterusnya ke atas;
  3. Atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka → Termasuk anak laki-lakinya atau anak-anak suaminya dan seterusnya dari keturunan mereka;
  4. Atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka → Saudara kandung, atau saudara seayah atau seibu;
  5. Atau putra-putra saudari perempuan mereka atau wanita-wanita mereka → Maksudnya, boleh bagi para wanita untuk melihat kepada wanita yang lain secara mutlak; dimungkinkan juga idhafah (penyandaran) ”wanita mereka” menunjukkan pengertian jenis wanita tertentu, yaitu wanita muslimah yang berasal dari jenis kalian. Di dalamnya terdapat dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa sesungguhnya (aurat) seorang wanita muslimah tidak boleh dilihat oleh wanita dzimmiyah (non muslim);
  6. Atau budak-budak yang mereka miliki → Sehingga dibolehkan bagi budak lelaki (bila seluruh jiwanya milik seorang wanita) untuk melihat kepada tuan wanitanya selama wanita tersebut memilikinya secara keseluruhan; bila kepemilikannya hilang atau hanya sebagian saja maka dia tidak diperbolehkan untuk melihatnya;
  7. Atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) → Maksudnya, orang-orang yang mengikuti kalian, bergantung kepada kalian, baik dari kaum lelaki yang tidak mempunyai gejolak nafsu terhadap syahwat ini (semisal orang gila yang tidak sadar dengan apa yang terjadi) atau lelaki impoten yang sudah tidak mempunyai birahi lagi (baik pada kemaluan atau pun hatinya); semua jenis lelaki ini tidak dilarang untuk melihat;
  8. Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita → Maksudnya, anak-anak yang belum memasuki usia tamyiz (kurang dari tujuh tahun-an, pen.); mereka boleh melihat para wanita. Allah mengemukakan illatnya (sebabnya), yaitu mereka belum mengerti tentang aurat wanita dan belum muncul nafsu syahwat pada diri mereka. Jadi ini menunjukkan bahwa seorang wanita harus menutup auratnya dari pandangan seorang anak yang sudah memasuki usia tamyiz karena si anak telah memahami aurat waniat.
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Maksudnya, janganlah mereka menghentakkan kaki mereka ke tanah agar perhiasan-perhiasan yang ada di kaki mereka bersuara (semisal gelang kaki dan sejenisnya), hingga perhiasan itu akhirnya diketahui orang lain, lalu akhirnya menjadi media menuju fitnah.
Dari ayat ini dan ayat yang lain yang serupa dapat dipetik kaidah “sadd al-wasa’il” (keharusan menutup akses menuju kejelekan). Sesungguhnya bila sebuah perkara itu mubah tetapi dapat menghantarkan kepada perbuatan haram atau ditakutkan akan terjadi perbuatan yang dilarang, maka perkara tersebut terlarang. Menghentakkan kaki ke tanah pada asalnya boleh, namun lantaran ia menjadi jalan tersibaknya perhiasan maka hal tersebut menjadi terlarang.
Usai memerintahkan sekumpulan perintah yang baik dan mewasiatkan wasiat-wasiat yang indah, sudah tentu akan terjadi kelalaian dalam pelaksanaannya dari seorang mukmin dalam masalah itu. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan mereka untuk bertaubat,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman.”
Faedah ayat di atas: Keimanan pada diri seorang mukmin akan mengajaknya untuk bertaubat.
Selanjutnya, Allah mengaitkan kebahagiaan dengan taubat.
Allah berfirman,
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Supaya kamu beruntung.”
Dengan demikian, tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan taubat, yaitu berpaling dari hal-hal yang dibenci oleh Allah, baik secara lahir atau yang batin, menuju perkara-perkara yang Dia cintai, baik secara lahir maupun batin. Keterangan ini menandakan bahwa setiap mukmin membutuhkan taubat, lantaran Allah telah mengarahkan pembicaraan kepada “mukminin”.
Dalam ayat ini termuat anjuran untuk berbuat ikhlas dalam bertaubat, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya), ”Maka bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah.” Maksudnya, bertaubat itu dilakukan bukan untuk tujuan selain wajah-Nya. Dengan kata lain, ayat ini mennggiring manusia menuju jalan keselamatan yang bebas dari gangguan-gangguan keduniaaan, riya’, sum’ah, atau orientasi-orientasi rusak lainnya. (Lihat Taisir Karimir Rahman)
Surat Al-Ahzab, ayat 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tafsir Ayat:
Ayat ini disebut “ayat hijab”. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memerintah kaum wanita secara umum. Perintah itu dimulai dari istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan putri-putrinya, karena mereka lebih ditekankan (menjalankan perintah) daripada selain mereka. Selain itu, pemberi perintah semestinya memulai dari keluarganya sebelum memerintah orang lain, sebagaimana Firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim:6)
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Jilbab ini adalah kain yang melapisi pakaian,berupa selimut, khimar (kerudung), kain sorban, atau yang serupa dengannya. Maksudnya, hendaklah mereka menutup wajahnya dan dada dengannya.
Kemudian Allah menyebutkan hikmahnya,
ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.”
Ini menunjukkan adanya gangguan apabila mereka (kaum wanita beriman) tidak mengenakan jilbab. Penyebabnya, apabila mereka tidak mengenakan jilbab maka mereka akan mudah diduga ”bukan wanita-wanita suci (terhormat)”. Ujung-ujungnya, mereka akan mudah didatangi oleh orang yang hatinya bernafsu untuk mengganggu mereka. Tak hanya itu; bisa saja mereka dilecehkan atau bahkan diduga sebagai perempuan-perempuan budak sahaya. Akibatnya, orang-orang menginginkan keburukan dan meremehkan mereka. Bercermin dari hal tersebut, hijab wanita muslimah sejatinya memutus hasrat busuk orang-orang yang berpotensi mengumbar nafsu terhadap mereka.
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kalian yang telah lalu, berbelas kasih kepada kalian dengan menjelaskan hukum-hukum-Nya kepada kalian, serta menjelaskan sesuatu yang halal dan yang haram. (Lihat Taisir Karimir Rahman)
Beberapa sifat orang-orang yang “asing”
Penting bagi kita untuk mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang terasing namun mereka tetap bahagia. Agar kita bisa menjadikan mereka teman yang membantu kita agar tak tergelincir. Juga, menjadi panutan dalam kebaikan.
Berikut ini beberapa karakter mereka:
  • Mereka adalah orang yang shalih/shalihah dan taat pada perintah agama. Kita lihat dalam kondisi apa pun dia bergerak, berjalan, atau pun diam, dirinya selalu meletakkan kakinya di atas hukum Allah, perhatiannya tidak lepas dari perintah (agar ia laksanakan) dan larangan (agar ia tinggalkan).
  • Perhatiannya yang besar terhadap perintah dan larangan mengharuskannya untuk terus belajar ilmu syar’i agar memiliki bashirah yang tajam dan ilmu yang mendalam tentang Al-Quran dan as-sunnah.
  • Keshalihannya menuntunnya untuk mengenal Allah. Dia tahu tempat-tempat kemurkaan-Nya, sebagaimana dia tahu tempat-tempat keridhaan-Nya. Ia tahu apa yang harus diperbuat ketika ia tergelincir dalam kesalahan dan maksiat, bagaimana ia dapat kembali merebut kecintaan Allah kepadanya. Bahkan ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya, lebih dekat lagi daripada sebelum melakukan kesalahan dan maksiat. Sebagaimana orang tuanya, yaitu Nabi Adam ‘alaihis salam; beliau semakin dekat kepada Allah setelah melakukan kesalahan (yaitu ketika beliau melanggar larangan-Nya di surga yang berakibat diturunkannya beliau ke bumi). Beliau lebih taat daripada sebelumnya. Wallahu a’lam.
  • Saudariku muslimah, semoga Allah mengistiqamahkan kita dalam melaksanakan perintah-Nya dan memasukkan kita ke dalam kumpulan hamba-Nya yang bahagia.
Orang yang berpegang teguh dengan sunnah pada zaman seperti sekarang ini adalah orang-orang yang langka, orang-orang yang istiqamah dengan kitab dan sunnah pada zaman keterasingan adalah mutiara. Kehilangan mereka sama artinya kehilangan benda yang begitu berharga.
Sebagian salaf berkata, “Aku mendengar di suatu negeri salah seorang ahlus sunnah meninggal, serasa copot salah satu anggota tubuhku.”
Subhanallah, begitu berharganya seorang muslim yang hanif di mata salaf. Suatu hari, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang yang datang dari jauh, “Jika engkau bertemu dengan seorang ahlus sunnah, sampaikan salamku! Sesungguhnya seorang ahlus sunnah sekarang ini gharib (asing).”
Jika itu semasa Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pada awal abad ke tiga, bagaimana dengan zaman kita? Alangkah tebalnya kabut keterasingan bagi ahlus sunnah.
Saudariku muslimah, bersabarlah dan teruslah bersabar dengan sabar yang indah, di atas keterasingan dalam memakai hijab syar’i di tengah masyarakat kita yang belum mengetahui hukum-hukum Allah secara sempurna. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memasukkan kita ke dalam golongan hamba-Nya yang beruntung.

Maraji’:
  • Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
  • Temui Aku di Telaga, karya Ustadz Armen Halim Naro.
  • www.muslim.or.id
Bandung, 19 Dzulhijjah 1434 H /24 Oktober 2013 M

Penulis: Umi Romadiyani Ummu ‘Afifah
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.Or.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Sahabat. Terima kasih ya.